Siddharta Gautama Adalah Nabi Zulkifli AS
By Admin
Oleh : Helmi Hidayat
Bahwa Pangeran Siddharta Gautama adalah nabi, saya sangat meyakininya. Seperti nabi-nabi lain yang mengimani keberadaan Tuhan, dan Tuhan yang mereka seru adalah Satu, Nabi Siddharta AS juga mengajarkan ketuhanan yang Satu. Ia menyebut-Nya Nibbana, yang di Indonesia lebih populer disebut Nirwana -- sebuah konsep tentang Tuhan yang Tidak Dilahirkan (ajāta), Tidak Menjelma (abhūta), Tidak Tercipta (akata), dan Tidak Terkondisi (asaṅkhata).
Jika oleh Siddharta Nirwana digambarkan sedemikian rupa, lalu apa bedanya dengan konsep Allah, yang oleh Nabi Muhammad SAW disebut ‘’tak satu mata pun pernah melihat, tak satu telinga pun pernah mendengar, dan tak satu pikiran pun pernah membayangkan-Nya.’’
Seperti Nirwana, Allah adalah Tuhan yang Maha Misterius, yang dalam misteri itu umat manusia tenggelam dalam meditasi perburuan yang tak habis-habis.
Tapi, bahwa ada sebagian ulama dalam Islam berpendapat Nabi Siddharta AS tak lain adalah Nabi Zulkifli AS, inilah yang buat saya menarik. Dalam pandangan mereka, para nabi adalah manusia-manusia luar biasa, yang karena itu mereka dianggap siap mental untuk menerima wahyu dan berdialog dengan makhluk dari unsur listrik yang sangat cerdas bernama Jibril AS. Siddharta Gautama adalah satu dari ratusan ribu manusia istimewa yang disebut nabi itu.
Bagaimana mungkin lelaki yang lahir 623 tahun sebelum kelahiran Nabi Isa AS itu tidak Istimewa? Siddharta dilahirkan di sebuah istana megah, tapi sejumlah pertapa justru mengaku mendapat wangsit bahwa sang pangeran akan menjadi Chakrawartin (maharaja dunia) atau menjadi seorang Buddha. Anak raja biasanya selalu jadi raja, hidup bermewah-mewah, tapi Siddharta justru berhasrat tinggi meninggalkan semua kemewahan itu!
Justru sejak usia yang sangat muda sekali, Siddharta sudah berhasil menyelami betapa kerentaan di usia tua, penderitaan saat sakit, dan kematian adalah kelemahan umat manusia yang dari semua itu mereka tak bisa menghindar.
Orang muda jarang merenung tentang semua itu dan cenderung asyik tenggelam dalam nikmat duniawi. Tapi Siddharta? Ia bukan hanya merenung, tapi bahkan memberontak hingga membawanya ke pusat meditasi di bawah pohon Bodhi yang mengantarkannya menjadi seorang nabi pembawa pesan langit.
Siddharta yakin, hanya dengan kesucian diri, seseorang bisa terlepas dari penderitaan sakit, kerentaan, juga kematian. Untuk itu ia mengajarkan umat manusia berpuasa di siang hari, mengurangi kesenangan duniawi di malam hari, demi mencapai Cahaya Agung.
Tradisi Nabi Siddharta Gautama itu ternyata mirip dengan apa yang diajarkan nabi Zulkifli AS. Nama Zulkifli tentu julukan, bukan nama asli. Dalam bahasa Arab, kata ‘’dzuu’’ berarti memiliki, sedang kata ‘’al-kiflu’’ bermakna kunci, gembok, perlindungan. Jadi, kata Zulkifli berarti orang yang punya kunci atau yang membuka gembok.
Nah, Siddharta Gautama, ya, Siddharta Gautama itulah orang yang membuka gembok itu – dia membuka gembok istana yang selama ini mengurung dan melindunginya dari melihat kesakitan, ketuaan, juga kematian!
Sebagian sejarawan Muslim menyebut nama asli Nabi Zulkifli AS adalah Basyar bin Ayub. Dia disebut-sebut diutus Allah kepada kaum Arami atau Amori, yang tak lain adalah nama lain dari bangsa Rum yang tinggal di Damaskus dan Yordania. Ini tentu satu versi.
Versi lain berpendapat Nabi Zulkifli justru melanjutkan kepemimpinan Nabi Ilyasa yang tidak punya keturunan. Untuk menjadi penerus Nabi Ilyasa, sosok Zulkifli ini diberi syarat berat, antara lain sanggup selalu berpuasa di siang hari, salat di malam hari, dan tidak pernah marah sepanjang hidup.
Syarat ini bukan saja diterima oleh Zulkifli, tapi dengan riang dijalankannya. Bukankah semua yang dilakoni oleh Zulkifli versi ini adalah apa yang juga dilakoni dengan sukacita oleh Siddharta Gautama?
Selamat memperingati Hari Waisak. Di hari yang diyakini sebagai hari kelahiran, hari penerangan agung, sekaligus hari kematian Nabi Siddharta Gautama ini, izinkan saya berkirim salam salawat atasnya, atas pribadi suci yang mengorbankan kesenangan duniawinya untuk kebahagiaan umat manusia. (*)